Ratahan berada di Kabupaten Minahasa Tenggara. Merupakan ibukota Kabupaten. Memasuki Kota ini dari arah Utara melewati jalan gunung potong yang terjal bagaikan tembok pelindung bagi daerah ini, dihiasi pemandangan pegunungan hijau. Seluruh kecamatan ini sendiri berareal 160,60 km.
Sejarah awal mula nama RATAHAN diambil dari kata NATAAN. Pada abad 16 dibagian barat Kesultanan Ternate tepatnya di sebelah utara pelabuhan mandolang (Belang), berdiam sekelompok orang ditempat yang namanya sekarang Wanua Kangan (Negeri Lama). Mereka hidup tersendiri, dimana jumlah mereka kira-kira 30 rumah tangga. Mereka dipimpin oleh seorang yang gagah berani yang namanya LIKUR. Tempat tinggal mereka kira-kira 7 meter dari permukaan tanah, dengan maksud supaya mereka aman dari gangguan musuh ataupun binatang buas, serta sangat berjauhan satu dengan yang lainnya. Kelompok orang ini berasal dari Mangindane (Philippines), yang berlayar menuju Sangir dan akhirnya mereka turun dipesisir pantai Bentenan, dan dari sanalah mereka mencari lokasi untuk membuka areal perkebunan dan pemukiman baru dengan berjalan kearah Barat, dan tiba di Wanua Kangan (Negeri Lama). Karena mereka mempunyai kebiasaan berpindah-pindah tempat, maka mereka berencana unuk mencari tempat yang baru lagi untuk dijadikan tempat pemukiman mereka, setelah sekian lama mereka berada di Wanua Kangan (Negeri Lama).Perjalan ini berlanjut ke arah Barat, dan mereka membawa ayam jantan tiba diatas sebuah gunung (Topinesang = gunung yang dipotong). Mereka duduk sambil melepaskan lelah, sambil makan sirih dan pinang serta menghisap tembakau sebagai kebiasaan mereka. Mereka melanjutkan perjalanan kearah selatan lagi, dan setelah kira-kira 1500 meter, mereka istirahat di tepi sungai. Disini ayam yang mereka bawa berkokok tiga kali, kemudian mereka memberi tanda dengan batu yang diperkirakan berlokasi di sekitaran kelurahan Lowu II. Sesudah itu mereka melajutkan perjalanan ke arah barat melewati sungai (Sungai Palaus), dan sekitar 30 meter kembali ayam yang mereka bawa berkokok, dan ditempat itu juga diberi tanda dengan batu (Pasik Wanua) yang berlokasi di seputaran kelurahan Lowu I. Perjalanan mereka teruskan ke arah selatan, dan sekitar 500 meter kembali ayam yang mereka bawa berkokok lagi, tapi dalam bunyi yang lain (TA... TA... AN sejumlah 3 kali), yaitu:
TA ...... TA ...... AN
TA ...... TA ...... AN
TA ...... TA ...... AN.
Kemudian ayam itu mereka sembelih dan dikuburkan, dan tempat itu diberi tanda dengan batu. (yang sekarang Batu atau Watu dari Nenek Moyang Orang Ratahan di Kompleks Gedung Wale Wulan Lumintang atau di depan Gereja Masehi Injili Di Minahasa "GMIM DAME TOSURAYA"). Dan dari asal bunyi TA ... TA ... AN TA ... TA ... AN ... TA ... TA ... ANitulah dikenal sebutan NATAAN yang sekarang menjadi RATAHAN.
Penduduk Ratahan datang bergelombang baik yang dari Tontemboan (Minahasa), maupun pendatang dari seberang daratan baik dari Utara maupun dari Selatan. Dari Tontemboan (Minahasa), Bantik, Mongondow, Mindanao, Bayo, Tifuru. Paulus Lumoindong (Etimology Minahasa). Menurut cerita beberapa tetua keluarga Minahasa, masih ada dua Pakasa’an dalam cerita tua Minahasa yang pergi ke wilayah Gorontalo (sekarang ini turunan opok Suawa) dan Tou-Ure yang tinggal menetap di pengunungan Wulur – Mahatus. Tou-Ure artinya orang lama. Menurut teori pembentukan masyarakat pendukung zaman batu besar atau “megalit” tulisan Drs. Teguh Asmar dalam makalahnya “Prasejarah Sulawesi Utara” tahun 1986. Jaman Megalit terbentuk sekitar 2500 tahun sebelum Masehi, contoh zaman batu besar adalah memusatkan upacara adat di batu-batu besar seperti Watu Pinawetengan. Jaman batu baru atau zaman Neolit di Sulawesi Utara dimulai tahun Milenium pertama sebelum masehi atau sekitar seribu tahun sebelum masehi. Contohnya pembuatan batu kubur Waruga. Pada waktu itu orang Minahasa yang berbudaya Malesung telah mengenal pemerintahan yang teratur dalam bentuk kelompok Taranak secabang keturunan misalnya turunan opok Soputan, Makaliwe, Mandei, Pinontoan dan Mamarimbing. Pemimpin tertinggi mereka adalah yang bergelarMuntu-Untu, yang memimpin musyarah di Watu Pinawetengan pada abad ke – 7.
Pakasa’an Tou-Ure kemungkinan tidak ikut dalam musyawarah di Pinawetengan untuk berikrar satu keturunan Toar dan Lumimuut dimana semua Pakasa’an menyebut dirinya Mahasa asal kata Esa artinya satu, hingga Tou-Ure dilupakan dalam cerita tua Minahasa. Belum dapat ditelusuri pada abad keberapa pakasa’an Tountewo pecah dua menjadi Pakasa’an Toundanou dan Tounsea hingga Minahasa memiliki empat Pakasa’an . Yakni Toungkimbut berubah menjadi Toumpakewa, Toumbuluk, Tonsea dan Toundanou. Kondisi Pakasa’an di Minahasa pada zaman Belanda terlihat sudah berubah lagi dimana Pakasa’an Tontemboan telah membelah dua wilayah Pakasa’an Toundanouw (lihat gambar) dan telah lahir pakasa’an Tondano, Touwuntu dan Toundanou. Pakasa’an Tondano terdiri dari walak Kakas, Romboken dan Toulour. Pakasa’an Touwuntu terdiri dari walak Tousuraya dan Toulumalak yang sekarang disebut Pasan serta Ratahan. Pakasa’an Toundanou terdiri dari walak Tombatu dan Tonsawang.